Memiliki orang tua Muslim ternyata tak menjadikan Mokoginta pengikut agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan kebebasan beragama yang diberikan kedua orang tuanya kemudian justru menjadikannya seorang Katolik.
“Ayahku adalah seorang non Muslim dari etnis Cina yang masuk Islam saat menikahi ibuku,” ujarnya mengawali cerita. Karena itu, praktis Mokoginta terlahir dari kedua orang tua yang beragama Islam. Namun karena keduanya beranggapan semua agama sama dan benar, ia dan tujuh saudaranya disekolahkan di sekolah Katolik.
Pendidikan dan lingkungan sekolah menjadikan Mokoginta dan saudara-saudaranya pemeluk Katolik. Hingga pada satu masa, tahun 1976, Mokoginta merantau ke Ibukota untuk mengadu nasib. Perantauannya itu tak hanya membawanya menjadi seorang pebisnis, namun juga seorang pengikut Yesus yang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ia berkenalan dengan sebuah keluarga Muslim yang menjadi mitra bisnisnya di Jakarta, dan tinggal tak jauh dari mereka. Di sana, lingkungan kembali menjadi guru bagi Mokoginta. “Mereka adalah keluarga yang islami. Dan bersama mereka, aku merasakan kehidupan beragama yang harmonis,” kata pria kelahiran Kotamobagu, Sulawesi Utara ini.
Tak perlu waktu lama untuk membuat Mokoginta tertarik pada Islam. Diam-diam, ia mulai membuat penilaian tentang agama itu, dan mulai merasakan kebenarannya. Baginya, ajaran Islam sangat memperhatikan persoalan akidah dan akhlak, sesuatu yang tidak pernah diajarkan secara khusus dalam agamanya.
“Islam mengatur semuanya dengan Alquran dan sunnah Rasulullah, termasuk segala sisi kehidupan beragama, sedangkan ajaran ‘kasih’ yang selalu didengung-dengungkan dalam Kristen tidak kurasakan,” katanya. Semakin jauh mengenal Islam, Mokoginta mulai merasakan ketidakberesan dalam keimanannya. “Alhamdulillah, hijrahku ke Jakarta adalah kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Empat tahun bermitra dan bergaul dengan keluarga Muslim itu, Mokoginta tak pernah sekalipun dipaksa atau bahkan didorong untuk masuk Islam. Namun selama itu, diam-diam ia mempelajari Islam dan membandingkannya dengan ajaran Alkitab.
Tahun 1980, hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang melingkupi hati Mokoginta selama hampir empat tahun berbuah syahadat. Mokoginta berislam setelah melihat bahwa justru umat Islam-lah yang mengamalkan ajaran agamanya. “Muslimlah pengikut Yesus dalam arti yang sesungguhnya, karena merekalah yang mengamalkan ajaran Yesus (Nabi Isa Alaihissalam),” ujarnya.
Mokoginta mencontohkan, banyak di antara perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Yesus tidak ia amalkan selama menjadi pemeluk Katolik. “Allah mengharamkan babi tapi kami memakannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman bahwa Dia itu Esa tapi kami menjadikan-Nya Trinitas, Yesus dikhitan sedangkan kami tak wajib berkhitan, Yesus bersabda ia nabi utusan Allah tapi kami jadikan ia Tuhan, Yesus menyuruh menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tapi justru Yesus yang kami sembah setiap hari,” urainya.
“Ternyata semua perintah Allah dan ajaran Yesus itu, umat Islamlah yang mengamalkan,” ujar Mokoginta. Ia kemudian menyimpulkan bahwa berislam adalah satu-satunya jalan untuk bisa mengamalkan semua ajaran Yesus. “Jika aku tetap dalam Kristen, maka setiap hari aku akan mengkhianati ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Yesus.”
Terlebih, tambahnya, dalam sabdanya Yesus menyebut dirinya sebagai utusan bagi Bani Israel, bukan untuk seluruh umat. “Yesus juga berkata bahwa akan datang setelahnya nabi bernama Ahmad atau Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dialah nabi akhir zaman yang diutus untuk menyempurnakan agama bagi umat manusia.”
Meski hanya nyantri pada beberapa ustadz dan mempelajari Islam secara otodidak, Mokoginta kini dikenal sebagai dai serta pembicara Kristologi di berbagai forum dan majelis. Bahkan, undangan juga datang dari luar negeri.
Tak sekadar tampil menyampaikan ajaran dan pesan Islam, Mokoginta aktif menjawab dan mendebat hujatan kaum non Muslim terhadap Islam. Sanggahan juga ia sampaikan melalui tulisan yang dibukukan. Tidak kurang dari 40 buku sanggahan telah ditulisnya. Beberapa bahkan dicetak ulang hingga beberapa kali.
Untuk semua sanggahannya, Mokoginta mengaku cukup bersenjatakan Alquran. “Cara membuktikan kebenaran Islam adalah dengan mempertandingkan Alquran dengan Bibel,” ujarnya yakin. Menurutnya, Alquran adalah mukjizat yang menjadi bukti dari semua kebenaran Islam. “Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada keraguan di dalamnya.”
Ia menambahkan, kebenaran isi Alquran adalah bukti keajaibannya. “Semakin didalami, kebenarannya akan semakin jelas terhampar. Karena itu siapapun boleh mengkritisi Alquran, asal dengan ilmu dan argumen serta dalil yang benar,” kata pria yang pernah menjadi guru bahasa Inggris ini.
Hal itu, katanya, tidak dapat ia lakukan sebelum ia berislam. “Alkitab tidak boleh dikritisi, karena ia dianggap telah final dan diyakini sebagai firman Tuhan yang murni.” Atas dasar itulah, ia banyak mengangkat studi komparatif dalam dakwahnya. Ia berharap jamaahnya dapat membandingkan dan menetapkan apa yang mereka anggap benar.
Kini Mokoginta bangga menjadi Muslim, bukan karena kiprahnya sebagai dai, melainkan karena kebenaran yang dipeluknya. “Dengan berislam, aku mengimani Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tanpa kehilangan Yesus,” tegas peraih Mualaf Award pada 2006, 2007, 2010, dan 2011 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.