Nama saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya
dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak
ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing
Tinggi. Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan,
tiba-tiba dunia sekolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh
saya berhenti sekolah.
Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD.
Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar,
mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku
sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
Pada usia 12 tahun, saya mulai
merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari
saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil
mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa,
tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua
orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman
uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut.
Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya.
Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat
kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang
tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan
dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi
entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali
di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi
calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat
yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang
saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya
berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia.
Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun.
Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati,
karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya
ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan
lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan
polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan
Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali
saja.
Merantau ke Jakarta
Setelah bebas dari penjara, saya
pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau
menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk
penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya
hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunvai uang seribu
rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang
pernah menyayangi saya. Berbulan-bulan saya hidup menggelandang mencari
alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga
Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh
tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir
saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang
yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi
penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah
menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang
di klenteng.
Mulai saat itu saya telah berubah
seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini.
Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok.
Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya
beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan.
Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses Mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP
(Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya
singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu
dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang
tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam.
Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman
sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan
sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui.
Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat.
Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan.
Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu
memberantas kejahatan. Terpaksa ini saya lakukan. Kalau tidak, saya
bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu
berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya,
Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya
bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan
kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak
rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia
judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah
judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya
yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak
neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah
masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu
masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q.,
dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994,
kami mendirikan Majels Taklim Atta’ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim
ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan
tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar.
Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim
Atta’ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan
oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya
ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya
ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya
harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina dengan baik. Entah
kapan pondok pesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya
berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya
akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.