“Saya dapat katakan dengan mengubah rencana permainan, mengubah cara berpikir, karena seperti itulah cerita hidup saya,” ungkap Mustafa, seorang kordinator forensik di Mahkamah Kesehatan Mental Brooklyn.
Mustafa, bercambang dan berpenuturan lemah lembut, 64 tahun itu tak sama dengan ia saat 20 puluh tahun lalu. Kini ia bekerja di Pengadilan Kesehatan Mental, sebuah lembaga yang berafiliasi dengan Mahkamah Tinggi Negara Bagian New York. Ia membantu penghuni penjara yang mengalami sakit mental dan kecanduan obat, mendapat perawatan layak
Tak ada satupun, menurut para sipir, yang dapat membantu lebih baik ketimbang Mustafa, lelaki yang telah menghabiskan awal kehidupannnya berjuang tanpa rumah dalam kecanduan obat-obatan dan alkohol.
Tumbuh besar di lingkungan sangat miskin, Harlem, masa kecil Mustafa diliputi penderitaan. “Saya ingat ketika luar biasa lapar. Saya ingat merasa begitu lemah karena kelaparan,” ungkapnya.
Sentuhan pertamanya dengan narkoba dan alkohol–yang lantas menjadi bagian gaya hidup selama 30 tahun kemudian–terjadi saat Mustafa berusia 13 tahun.
Ia mengatakan untuk diterima di kalangan temanya ia mesti terlibat dalam rutinitas merokok mariyuana dan minum anggur.
“Saya sering bertemu dengan ibu saya di bar,” ujarnya menuturkan dirinya yang dulu. Ia putus sekolah di tingkat menengah di awal masuk SMP.
Namun ketika ia mulai berkenalan dengan crack, istilah kokain khusus untuk rokok, gaya hidup kecanduan Mustafa mencapai klimaksnya.
Ia mulai mengambil barang-barang dan mencuri dan bahkan menjual narkoba demi memenuhi nafsu kecanduannya. “Ketika anda kecanduan kokain, pikiran pertama yang merasuki adalah bagaimana cara untuk mendapatkan lagi,” ujarnya.
Mustafa pun tumbuh menjadi lelaki getir pemarah yang keluar masuk penjara lebih 30 kali gara-gara dakwaan tindak kriminal mulai dari pengedar hingga perampokan
Titik Balik
Berada di lingkaran narkoba dan penjara, Mustafa yang dibesarkan sebagai seorang Katholik, bersentuhan dengan Islam saat berusia 27 tahun.
Namun Mustafa mengakui jika perpindahan agama yang ia lakukan sebatas administasi, dan itu tidak menghentikannya dari tindak kriminal dan gaya hidupnya.
“Saya dulu tidak berpikir tentang mengubah rencana permainan saya,” ujarnya.
Saat ia tetap meneruskan hidup dalam cengkeraman narkoba dan penjara, istrinya, seorang Muslim akhirnya menuntut cerai.
Setelah sekurangnya 40 tahun hidup di jalan, bertahan dari sup-sup sisa dapur restoran, mencuri dan menggunakan narkoba, Mustafa memutuskan untuk membuka lembar baru untuk dirinya.
Ia mulai mendatangi pertemuan Narkotik Tanpa Nama dan mencari bantuan dari The Bridge, sebuah organisasi yang membantu kaum gelandangan, dan mereka yang terkena masalah kekerasan.
Disanalah Mustafa kemudian bertemu Amin, pemandu Muslimnya yang membimbing ia menjadi Muslim sesungguhya saat dalam masa penyembuhan.
Amin sendiri ialah mantan pecandu heroin dan pasien AIDS. Ia mengenalkan Mustafa kepada Milliati Islami–program penyembuhan narkoba berdasar prinsip-prinsip Islam.
“Kita berbicara tentang mendekat kepada Allah, dan beribadah serta berdoa,” kenang Mustafa.
Lucille Jackson, salah satu pengelola yang dulu menjalankan The Bridges, menyatakan penemuan kembali Mustafa atas islam menjadi salah satu titik baliknya.
“Ia mengambil manfaat dengan pandangan positif terhadap apa yang terjadi di sekitarnya nya. Ia menjadikan pengetahuan tersebut dengan sebaik-baiknya,” kata Lucille.
Membantu Orang Lain
Lucille sangat terkesan hingga ia memutuskan memberi Mustafa pekerjaan di organisasi tersebut meski ia tengah menjalani penyembuhan.
Ketika Lucille menjadi Direktur Proyek Pengadilan Kesehatan Mental Brooklyn, ia ingin pula mempekerjakan Mustafa sebagai kordinator forensik. Namun karena catatan kriminal yang berderet, Lucille pun mesti mendapat ijin khusus dari pengadilan tinggi negara bagian. Wanita itu pun mendapatkan ijin tersebut.
Pekerjaan Mustafa melibatkan para penghuni penjara dengan layanan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan gangguan mental dan masalah kekerasan yang mereka hadapi. Selain itu ia juga kerap memberi bantuan terhadap pengangguran dan gelandangan.
Meski ia tidak diminta berbagi pengalamannya dengan para pasien, Ia dengan suka rela membuka masa lalunya jika ia pikir itu akan membantu seseorang, terutama pemuda yang hidup dalam trauma tragedinya.
“Saya melihat hidup mereka dipotong. Saya akan memperlakukan mereka sebagai anak saya. Saya selalu katakan,’Raihlah pendidikan. Jangan lakukan itu terhadap dirimu sendiri,” ujarnya.
Lucille melabeli dedikasi Mustafa sangat istimewa. “Ia adalah sosok manusia luar biasa,” ujarnya.
“Ia tidak pernah membiarkan satu pun menghalangi jalannya dalam membantu klien. Bahkan jika perlu ia akan menempuh ekstra kilometer untuk sampai kesana,” kata Lucille.
Saat ini, ayah sekaligus seorang kakek itu mengaku bersyukur saban hari telah menemukan Islam kembali selama masa sulit dalam hidupnya.
Selain pekerjaanya, Mustafa juga menyelesaikan Peningkatan Pendidikan Umum (GED). Ia juga cemerlang dalam kelas Bahasa Arab yang ia ambil demi upayanya memahami Alquran secara penuh.
Mustafa bahkan berencana mengambil kuliah Studi Islam suatu hari kelak.
“Ketika kamu muda, kami terbiasa menyalahkan semua hal pada pria kulit putih,” kenangnya.
“Namun kini saya seorang Muslim. Kondisi saya bergantung pada upaya dan kehendak Allah,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.