“Seperti takdir, padahal aku memasukkan lamaran ke hampir semua sekolah yang ada di Michigan, baik lokal maupun swasta. Namun, hanya sekolah Islam itu yang memanggilku,” kisahnya.
Tadinya, Lynette ragu menerima tawaran tersebut. Apalagi, saat itu dia seorang Katholik dan Islam tidak menarik hatinya. Namun, akhirnya ia menyanggupi tawaran tersebut atas alasan yang sederhana.
“Aku pikir, lebih baik menjadi guru di sekolah Islam yang bertanggung jawab atas sebuah kelas daripada mengajar di sekolah umum, tapi hanya menjadi guru pengganti. Hal ini menantangku dan aku merasa bersemangat memulainya. Sejak saat itu, hidupku tak pernah sama lagi,” lanjut Lynette.
Ketika pertama kali mengajar di sekolah tersebut, kepala sekolah mengajukan sebuah pertanyaan pada Lynette. “Apa yang kamu ketahui soal Islam?”
Tanpa pikir panjang, ia menjawab dengan semua pehamaman yang dimilikinya tentang Islam.
Saat itu, Lynette berasumsi, dalam Islam perempuan hanya boleh bicara ketika diizinkan dan mereka harus berjalan di belakang laki-laki. Dia menganggap perempuan dalam Islam bak warga kelas dua. “Kepala sekolah tertawa mendengarkan jawabanku,” kata Lynette.
Ia juga ingat, pada hari pertama bekerja, setiap guru non-Muslim akan diberikan pelatihan mengenakan jilbab. Setiap guru non-Muslim umumnya tertawa melihat penampilan mereka dengan jilbab.
Tak ada rasa tegang seperti yang dibayangkan sebelumnya. Suasana saat itu begitu mengalir dan santai. Dari situ, Lynette menemukan pelajaran penting, yakni masyarakat AS terjebak dalam kesalahpahaman tentang jilbab dan Islam secara keseluruhan.
Hari demi hari, Lynette kian mengenal Islam. Dia mulai sering bertukar pikiran dengan guru-guru Muslim di sekolah tersebut tentang Islam.
Dia juga kerap membaca buku agama milik muridnya yang tertinggal di sekolah. Ia mulai membaca Alquran. Seusai membaca kitab suci itu, muncul pertanyaan dalam benaknya, bagaimana bisa Alquran ini berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun, semakin ia membaca, ia semakin tahu jawabannya. “Alquran seolah dibuat untukku. Aku tak berhenti menangis,” kata dia haru.
Ketika itu, Lynette mulai sadar bahwa ajaran Islam sangat masuk akal. Banyak pertanyaan dalam dirinya terjawab. Dia pun kemudian memutuskan menjadi Muslim.
Saat itu, ia merasa telah menemukan apa yang selama ini dicari. Karenanya, ia tak ragu lagi untuk masuk Islam. ”Aku tahu inilah jalan yang benar. Semuanya terasa masuk akal. Aku sangat bahagia.”
Pengaruhi cara berpikir Islam memberikan pengaruh besar dalam hidup Lynette. Agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini memengaruhi cara dia berpikir dan berinteraksi dengan suami dan keluarga serta orang-orang di sekitarnya.
”Juga berpengaruh besar dalam hubungan saya dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sangat sulit mengungkapkannya dalam kata-kata,” ungkapnya.
Tak seperti kebanyakan mualaf lainnya, Lynette merasa cukup beruntung. Sebagai seorang mualaf, dia bisa berada di lingkungan yang sangat Islami sehingga proses transisi yang dijalaninya tidak terlalu berat.
Menurut Lynette, pendukung utama dia adalah teman-temannya di sekolah Islam. Dan, ia menghabiskan banyak waktunya di lingkungan yang Islami itu. Lebih menggembirakan lagi, keluarganya tak mempermasalahkan keputusannya menjadi Muslimah.
Namun, ia tak memungkiri ada penolakan dari beberapa teman dan neneknya. Teman-teman non-Muslimnya mulai menjauh. ”Mereka kerap berbisik sinis ketika dijelaskan alasanku berjilbab dan masuk Islam.”
Sang nenek pun demikian. Selama beberapa tahun, Lynette merasa jauh dari sang nenek. Namun syukurlah, lambat laun dia bisa menerima keputusan cucunya. Kini, mereka malah sangat dekat. ”Dia menghargai aku, begitu pula aku,” ungkapnya.
Damai Menjadi Muslim di Amerika
Lynette merasa beruntung menjadi Muslimah, di saat kebanyakan mualaf tidak mengalaminya.
Tidak ada sistem yang mendukung mereka sehingga tidak aneh bila banyak mualaf yang kemudian berpaling kembali dari Islam.
“Kebanyakan mualaf, terutama yang tidak berada di negara Islam, seperti Amerika, tidak memiliki orang-orang di sekelilingnya yang juga Muslim. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan bantuan dan dukungan untuk mendalami Islam,” kata Lynette.
Ketiadaan sistem itu pula yang membuat para mualaf acap merasa kesepian. Misalnya, ketika harus merayakan hari raya sendirian. Hal itu terasa sangat berat.
Sebagai Muslim satu-satunya di keluarganya, Lynette harus tetap terbuka dan fleksibel. “Agar saya tetap berhubungan baik dengan keluarga saya dan tetap menjaga keislaman saya,” prinsipnya.
Selain itu, begitu banyak acara kumpul-kumpul seusai kerja yang terpaksa ia lewatkan karena teman-temannya tidak merasa nyaman atas kehadirannya. Mereka tidak mengundang Lynette ke pesta ataupun hanya mengobrol di bar.
Sementara kalaupun diajak, Lynette juga tidak nyaman karena yang dilakukan di pesta bisa saja bertentangan dengan Islam.
Lynette pun mengisahkan, saat pertama kali menjadi Muslimah, dia sama sekali tidak memiliki informasi mengenai tempat ataupun orang yang bisa didatangi untuk mendalami Islam.
Hal ini sangat menyedihkan hatinya. Sebab, ketika menjadi mualaf, seseorang memerlukan bantuan Muslim lainnya untuk memberi tahu dan mengingatkan mengenai apa yang harus dilakukan. Misalnya, cara berpakaian atau apa yang harus dikatakan.
Tanpa adanya pemasok informasi, para mualaf akan mudah melakukan kesalahan dalam memahami Islam. “Banyak yang berpikir, ketika menjadi seorang Muslim, dia harus semirip mungkin dengan orang Arab. Ini salah,” tegas Lynette.
Amerika, bagi Lynette, adalah tempat yang sangat luas dan bebas bagi para Muslim untuk mempraktikkan keislamannya. “Kami bebas beribadah, bebas berpakaian seperti yang aku inginkan. Aku merasa damai. Aku merasa keislamanku dan identitas Amerika-ku bisa berjalan bersamaan secara harmonis,” ujarnya.
Dalam pandangan Lynette, budaya Amerika tidak jauh berbeda dengan negara lain. Ada yang baik dan buruk. “Yang penting aku mendengar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengikuti-Nya dan tidak terpengaruh atas apa pun,” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.