Layaknya Ibrahim mencari Tuhannya, begitu pula yang dialami Ahmad Sugiarto alias A Sen sebelum memutuskan memeluk Islam. Dari rentetan proses yang dialami, A Sen menemukan jalan pada Allah SWT dan Islam. ”Hanya ada satu Dzat yang mengatur alam semesta ini. Yakni Allah SWT,” papar A Sen.
Saat masih menganut agama lamanya, A Sen melihat Islam bukanlah sebuah agama. Karena waktu itu, menurut logika sederhana A Sen, kebanyakan agama yang dia tahu selalu menggunakan medium saat beribadah. Sementara ketika melihat umat Islam baik dalam keseharian ataupun melalui media massa, ia tidak melihat Islam menggunakan medium berupa patung atau simbol lain saat beribadah. “Semua yang di depan itu (medium patung dan simbol lainnya) disembah. Tapi Islam, saya pikir, “Apa yang disembah, tak ada. Maka ini bukan agama”, demikian pandangan saya waktu belum mengenal Islam,” ungkap A Sen mengisahkan.
Pemikiran A Sen tentang Islam secara perlahan terbentuk melalui buku-buku Islam dan ilmu pengetahuan. A Sen yang kritis, bertanya-tanya soal bagaimana alam semesta ini terbangun.
Menurut pemahamannya, segala sesuatu tidak tercipta dengan sendirinya. Sebagai contoh saja, kata A Sen, bumi ini ada kehidupan lantaran keberadaan atmosfer. Dari atmosfer, air laut yang diserap matahari berubah menjadi awan lalu jadilah hujan membasahi bumi. Tanpa atmosfer, air laut bakalan kering, tidak akan ada kehidupan seperti yang terjadi di planet-planet lain. “Yang jadi pertanyaan, air itu tak pernah kering. Rupaya ada yang menahan yaitu atmosfer, lalu kenapa bisa begitu, jadi semua itu perputar, berarti ini ada yang mengatur. Saya saat itu cuma berpikir siapa yang mengatur? Waktu itu saya belum mengenal Allah, “ papar A Sen.
Alam, menjadi media A Sen merenung. Pertanyaan-pertanyaan kritis A Sen segera mengemuka. Misalnya saja, mengapa pohon cabai menghasilkan buah cabai yang pedas. Lalu mengapa tebu menghasilkan rasa manis. “Kok bisa begitu? Padahal sama-sama diberikan pupuk dan air yang sama. Tidak mungkin diberi gula atau bahan pecampur lain. Lalu rasa manis dan pedas itu dari mana?”
Lalu, Asen merujuk pada dirinya sendiri. Pertanyaan kritis kembali menyeruak. “Rambut bisa terus tumbuh panjang, sementara bulu mata tumbuh hingga pada batas tertentu. Lalu, kalau bulu mata tumbuh terus seperti rambut bisa repot manusia. Berarti ini sudah ada yang mengatur lagi,” kata dia.
Menurut A Sen, pertanyaan-pertanyaan kritis yang lahir dari pikirannya tanpa disadari merupakan ilham atau hidayah. Saat itu, A Sen memang belum mengetahui jawban-jawaban itu sebelum akhirnya membaca kitab suci Alquran. Berjumpalah A Sen dengan Alquran.
Dari Alquran, A Sen menemukan jawaban berupa dzat maha besar yang mengatur alam semesta ini yaitu Allah SWT. Dari Alquran pula, A Sen mengetahui bahwa apa-apa yang diciptakan manusia seperti asbak termasuk medium-medium seperti patung tidak bisa melihat penciptanya.
“Kita buat gelas, gelas itu tidak bisa melihat saya, begitu pula dengan saya yang diciptakan Yang Maha Kuasa, saya tidak bisa melihat pencipta saya. Tapi ada dzat maha kuasa yang menciptakan, suatu saat nanti akan memberikan kesempatan pada manusia untuk melihat dia,” kata A Sen.
Usai mendapatkan jawaban hakiki tersebut, pemikiran kritis A Sen segera mengerucut pada sebuah kesimpulan bahwa agama yang hanya diterima Allah SWT hanyalah Islam. A Sen pun bingung. Sebab ia masih memeluk agama diluar Islam. “Ya, bagi saya, waktu itu, repot nih. Saya masih memeluk agama lain bukan Islam,” ungkap A Sen.
Berangkat dari kesimpulan itu, A Sen mulai belajar Islam secara sembunyi di kamarnya. Suatu ketika, saat A Sen membaca Alquran, dia mendapat ayat yang menyebutkan perintah kepada setiap Muslim untuk memeluk Islam secara kaffah. “Masuk Islamlah saya secara keseleuruhan. Orang tua saya ngamuk bukan main,” kata dia.
A Sen yang memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa dibimbing seorang ustadz, tanpa dihadiri Muslim lainnya. Di depan tembok kamarnya, ia berikrar menjadi Muslim.
Iapun menjelaskan pada keluarganya tentang keputusannya memeluk Islam. Ia mengatakan kepada kedua orang tua, kakak dan adiknya, bahwa agama yang selama ini ia dan keluarganya peluk bukanlah agama. Yang harusnya disembah, adalah pencipta matahari, bulan, dan bintang. Bukan hasil ciptaannya yang disembah. Langkahnya memeluk Islam diikuti sang adik.
Namun, ia masih menyembunyikan keislamannya. Baru pada tahun 1996, dibimbing Ketua Umum PITI DKI Jakarta, Syarif Tanudjaja, ia mengucapkan dua kalimat syahadat kembali di masjid Lautze. Fondasi keimanan yang dibangun sedari awal kian sempurna ketika ia memperdalamnya di Masjid Lautze.
Di saat itulah, konsekuensi memutuskan menjadi Muslim mulai bermunculan. Sindiran, ejekan dan sentimen terhadap dirinya berdatangan silih berganti baik dalam lingkup lingkungan sekitar rumahnya dan pekerjaan. Meski begitu, keyakinannya terhadap Islam tidak tergoyahkan. Bahkan kian memantapkan hati dan pikirannya atas jalan yang ia pilih.
“Setelah masuk Islam, masya Allah, luar biasa. Allah memberikan hadiah kepada saya yang tidak kepalang tanggung,” katanya.
Menurut A Sen, Islam memang diakui sulit untuk dipelajari tapi menjamin kebenaran hakiki. Sementara agama lain, kata dia, mudah dipelajari tapi hanyalah membawa pada kerugian. “Mau yang berat tapi benar atau mau yang mudah tapi salah. Kalau saya tentu memilih yang berat tapi benar. Di sini, kehidupan manusia tidak berhenti di dunia, tapi ada kehidupan akhirat. Maka saya memilih Islam. Mendingan yang berat tapi menjamin saya kebenaran. Susah-susah dahulu tidak apa-apa, yang penting bahagia kemudian,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.